Fenomena ini mencerminkan bagaimana trotoar di Stasiun Tanah Abang menjadi ruang pertemuan bagi berbagai lapisan masyarakat, dengan kepentingan yang berbeda. Para pejalan kaki, yang mayoritas adalah pekerja, memanfaatkan trotoar untuk mempercepat mobilitas mereka menuju tujuan, seperti transportasi publik atau tempat kerja. Di sisi lain, pedagang kaki lima yang menjajakan barang dagangannya menjadikan trotoar sebagai ruang untuk bertahan hidup ekonomi. Meskipun sering dianggap mengganggu kenyamanan pejalan kaki, keberadaan pedagang kaki lima ini justru menciptakan dinamika sosial-ekonomi yang menunjukkan bagaimana ruang publik dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi yang lebih informal.
Melalui teori penggunaan ruang publik dari Henri Lefebvre, kita dapat melihat trotoar ini sebagai sebuah ruang yang lebih kompleks daripada sekadar tempat pergerakan fisik. Lefebvre berpendapat bahwa ruang bukan hanya tentang geometri atau infrastruktur, tetapi juga tentang bagaimana ruang diproduksi melalui interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Dalam konteks trotoar di Stasiun Tanah Abang, ruang ini diproduksi melalui interaksi antara berbagai kelompok: pejalan kaki, pedagang, dan masyarakat lainnya yang berkepentingan. Lefebvre membedakan tiga dimensi ruang – ruang yang diproduksi (produced space), ruang yang dipahami (perceived space), dan ruang yang dialami (lived space). Trotoar di sini adalah ruang yang diproduksi oleh aktivitas ekonomi informal dan sosial, ruang yang dipahami oleh individu-individu yang menggunakan trotoar tersebut untuk mencapai tujuan mereka, dan ruang yang dialami oleh mereka yang harus bernegosiasi dengan kondisi fisik dan sosial di dalamnya.
Dengan adanya berbagai penggunaan ruang ini, trotoar Stasiun Tanah Abang menjadi contoh bagaimana ruang publik di Jakarta seringkali terfragmentasi, dengan berbagai kelompok saling berbagi dan bertabrakan dalam penggunaan ruang yang sama. Sementara pejalan kaki yang sibuk berusaha untuk berjalan dengan cepat dan aman, pedagang kaki lima memperlihatkan bagaimana ruang tersebut digunakan sebagai ajang transaksi ekonomi yang tidak diakui secara formal, namun memiliki fungsi sosial dan ekonomi yang sangat penting. Interaksi antara pejalan kaki dan pedagang kaki lima ini menciptakan ketegangan, tetapi juga menunjukkan bagaimana ruang dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu, meskipun terkadang melawan aturan yang ada.
Trotoar ini juga mencerminkan ketimpangan sosial yang tercermin dalam penggunaan ruang publik. Sementara para pejalan kaki yang lebih mapan atau berkepentingan dalam urusan pekerjaan dapat bergerak dengan cepat, ada kelompok-kelompok yang lebih marginal yang harus bergantung pada trotoar sebagai sumber penghidupan mereka. Fenomena ini mengundang pertanyaan tentang hak atas ruang publik dan bagaimana kota besar seperti Jakarta mengelola perbedaan dalam penggunaan ruang yang sama. Dalam hal ini, teori Lefebvre mengajak kita untuk melihat ruang publik tidak hanya sebagai infrastruktur fisik, tetapi juga sebagai tempat terbentuknya hubungan sosial dan ketegangan antara berbagai kelompok masyarakat.
Karya:
1. Zahra Syafira
2. Endrilla Sheva Nursanti
3. Fany Handayani Rahmawati
4. Isna Maulida Azzahra
5. Najma