Jürgen Habermas mengembangkan konsep ruang publik sebagai arena di mana masyarakat dapat berinteraksi secara bebas, setara, dan rasional. Dalam konteks trotoar di Jakarta, ruang publik ini seharusnya menjadi tempat yang inklusif dan terbuka bagi semua kalangan, tanpa diskriminasi. Habermas menekankan bahwa ruang publik idealnya bebas dari dominasi kekuasaan dan mencerminkan keterwakilan seluruh lapisan masyarakat. Trotoar yang dirancang dengan memperhatikan aksesibilitas untuk semua, termasuk pejalan kaki, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal, dapat menjadi wujud konkret dari ruang publik yang demokratis. Dengan menyediakan ruang bagi semua pihak untuk bergerak, berinteraksi, dan merasa diterima, trotoar yang inklusif tidak hanya menjadi infrastruktur fisik, tetapi juga simbol keterbukaan dan egalitarianisme dalam kehidupan kota. Dalam hal ini, gagasan Habermas tentang ruang publik membantu menekankan pentingnya kebijakan dan perencanaan kota yang menjamin hak setiap individu untuk menikmati ruang bersama secara setara.
Teori Henri Lefebvre tentang hak atas kota (right to the city) menekankan bahwa semua warga memiliki hak untuk mengakses, menggunakan, dan berpartisipasi dalam pembentukan ruang kota sesuai kebutuhan dan aspirasinya. Dalam konteks tema “Ruang Publik untuk Semua: Keterbukaan dan Inklusivitas pada Trotoar di Jakarta,” teori ini relevan karena menggambarkan pentingnya trotoar sebagai ruang publik yang inklusif bagi semua kelompok masyarakat, tanpa diskriminasi. Lefebvre berargumen bahwa ruang kota tidak hanya sekadar area fisik, tetapi juga merupakan hasil dari hubungan sosial yang terus berkembang. Oleh karena itu, trotoar sebagai bagian dari ruang publik seharusnya dirancang untuk mencerminkan keberagaman pengguna kota, termasuk pejalan kaki, penyandang disabilitas, lansia, dan kelompok rentan lainnya. Hak atas kota menuntut akses yang adil terhadap ruang ini, sehingga trotoar di Jakarta harus dirancang untuk menciptakan pengalaman kota yang setara, memungkinkan partisipasi semua kelompok dalam kehidupan perkotaan. Selain itu, Lefebvre juga mengkritik komodifikasi ruang kota yang sering mengutamakan kepentingan komersial di atas kebutuhan masyarakat umum. Dalam hal ini, trotoar yang dipenuhi pedagang besar atau infrastruktur privat dapat mengurangi esensi ruang publik sebagai milik bersama. Dengan demikian, hak atas kota menurut Lefebvre mengajarkan pentingnya mendesain trotoar yang tidak hanya fungsional tetapi juga mencerminkan keadilan spasial dan sosial, sehingga memenuhi kebutuhan semua warga Jakarta secara inklusif. Sebagai hal-nya dapat dijelaskan mengenai beberapa visual yang berkesinambungan dengan tema.
Melalui elemen-elemen visual, foto-foto tersebut menunjukkan keberagaman penggunaan ruang publik, mulai dari pedagang kaki lima yang menjadikan trotoar sebagai ruang usaha, hingga konflik penggunaan akibat parkir liar kendaraan bermotor. Pemandangan tersebut mencerminkan tantangan yang dihadapi kota besar seperti Jakarta dalam menciptakan ruang yang inklusif dan tertib, terutama di tengah tekanan urbanisasi. Selain itu, foto-foto tersebut menggambarkan bagaimana trotoar menjadi simbol perjuangan ekonomi dan sosial. Kehadiran pedagang kecil di bawah terik matahari atau hujan menunjukkan ketahanan mereka dalam mencari nafkah. Sementara itu, individu- individu yang terpinggirkan dalam hiruk-pikuk kota mengingatkan kita akan pentingnya keadilan sosial dalam pengelolaan ruang publik.
Secara keseluruhan, tema sosiologis yang dominan adalah perlunya keseimbangan antara fungsi trotoar sebagai jalur mobilitas, ruang interaksi sosial, dan ruang ekonomi informal. Hal ini menegaskan pentingnya perencanaan kota yang inklusif agar ruang publik dapat menjadi simbol keterbukaan, kenyamanan, dan keberlanjutan bagi semua lapisan masyarakat. Maka dari itu yang dapat diambil dari pemikiran Jürgen Habermas dan Henri Lefebvre mengenai tema “Ruang Publik untuk Semua: Keterbukaan dan Inklusivitas pada Trotoar di Jakarta” adalah bahwa trotoar harus menjadi ruang publik yang inklusif, egaliter, dan mencerminkan keadilan sosial. Menurut Habermas, ruang publik adalah arena di mana warga dapat berinteraksi secara bebas dan rasional tanpa dominasi kekuasaan, sehingga trotoar di Jakarta perlu didesain untuk memfasilitasi akses yang adil bagi semua kalangan, termasuk pejalan kaki, penyandang disabilitas, lansia, dan kelompok rentan lainnya.
Sementara itu, pemikiran Lefebvre tentang hak atas kota menekankan bahwa setiap warga memiliki hak untuk mengakses dan berkontribusi dalam pembentukan ruang kota, termasuk trotoar. Dengan kata lain, trotoar tidak hanya berfungsi sebagai jalur fisik, tetapi juga sebagai ruang sosial yang mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Kombinasi gagasan dari kedua tokoh ini menegaskan bahwa keterbukaan dan inklusivitas pada trotoar harus diwujudkan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaannya dan memastikan bahwa trotoar tetap menjadi ruang publik yang berfungsi untuk kepentingan bersama, bebas dari dominasi atau komodifikasi yang menghilangkan esensi kesetaraan dalam ruang kota.
Karya:
1. Muhammad Fijar Bayan Afgani (223503516013)
2. Muhammad Ridhomaulana D.P (223503516039)
3. Rafif Yudo Prakosa (223503516072)
4. Tio Alif Pradana (223503516099)
5. Zulvita Nuristia Febrianti (22350