Dinamika penggunaan trotoar di Jakarta mencerminkan interaksi kompleks dari hubungan kekuasaan, yang menunjukkan adanya ketimpangan signifikan dalam akses ke ruang publik. Trotoar kerap kali menjadi tempat persaingan kepentingan antara pejalan kaki, pedagang kaki lima, dan pihak pemerintah. Kompetisi ini mencerminkan konteks sosio-politik yang lebih besar dalam ruang kota Jakarta, di mana kelompok-kelompok yang terpinggirkan sering kali harus menghadapi penggusuran dan relokasi untuk mendukung inisiatif pembangunan kota. Kebijakan publik yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada kebutuhan lokal mengganggu fungsi trotoar, mengubahnya dari jalur pejalan kaki menjadi area yang diperebutkan.
Di pusat Jakarta, trotoar diutamakan sebagai jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman. Hal ini selaras dengan pandangan modernisasi dan keindahan kota, di mana trotoar dianggap sebagai lambang keteraturan dan perkembangan. Pemerintah dan pihak berwenang biasanya mengeluarkan peraturan yang ketat untuk memastikan fungsi trotoar ini sesuai dengan tujuan utamanya. Pengawasan dan penerapan regulasi lebih sering dilaksanakan di area ini, yang mengindikasikan bagaimana kekuasaan beroperasi untuk membentuk lingkungan yang sejalan dengan kepentingan kelas menengah-atas dan citra kota global. Trotoar di pusat kota bukan hanya tempat bagi pejalan kaki, tetapi juga simbol kekuasaan dalam menetapkan tata ruang dan prioritas pembangunan.
Sebaliknya, di pinggiran Jakarta, trotoar sering kali berfungsi sebagai ruang multifungsi, dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima untuk mendapatkan penghasilan. Di tempat ini, trotoar beralih fungsi menjadi area ekonomi sekaligus area sosial. Ketimpangan pembangunan sangat nyata; trotoar di area ini sering kali tidak terawat, dengan infrastruktur yang tidak memadai. Ketiadaan pengawasan yang ketat memberi kesempatan bagi masyarakat kelas bawah untuk memanfaatkan trotoar sebagai sarana untuk bertahan hidup. Akan tetapi, ini juga menunjukkan bagaimana kekuasaan beroperasi secara berbeda di area ini: ketidakacuhan terhadap kebutuhan infrastruktur di kawasan pinggiran menjadi salah satu bentuk kekuasaan yang memungkinkan ketimpangan terus berlanjut.
Pembagian kekuasaan yang tidak seimbang membentuk cara sejumlah kelompok sosial berinteraksi dengan area-area tersebut. Pedagang kaki lima sering menggunakan trotoar karena alasan ekonomi; namun, keberadaan mereka sering kali ditentang oleh peraturan kota yang lebih mengedepankan estetika dan faktor komersial dibandingkan keadilan sosial. Ketegangan ini, pada akhirnya, menekankan pertarungan yang tidak hanya fisik tetapi juga simbolis mengenai ruang kota di Jakarta. Menurut Foucault, kekuasaan bukan hanya milik individu tertentu, melainkan juga berfungsi melalui hubungan, membentuk norma, dan mengarahkan perilaku. Dalam konteks trotoar Jakarta, hubungan kekuasaan ini terlihat dari cara akses ke ruang publik diorganisir dan dipahami secara berbeda tergantung pada lokasi geografis.
Melalui gambar-gambar yang mendokumentasikan kegiatan di trotoar, tampak bahwa ruang publik ini bukan hanya sekedar jalan bagi pejalan kaki, tetapi juga panggung bagi berbagai kelompok masyarakat untuk bernegosiasi akan kebutuhan mereka. Di satu sisi, trotoar di pusat kota mencerminkan keberhasilan regulasi dan modernisasi, tapi di sisi lain, trotoar di pinggiran menggambarkan ketidakadilan yang masih ada. Ketimpangan ini menunjukkan bagaimana kekuasaan membentuk ruang, menciptakan perbedaan dalam akses dan fungsi trotoar. Menangani masalah ini membutuhkan analisis mendalam terhadap kebijakan yang mengatur ruang publik demi memastikan akses yang setara bagi setiap pengguna. Hubungan kekuasaan yang berperan dalam distribusi fungsi trotoar ini mencerminkan ketidaksetaraan pembangunan dan akses ekonomi yang merupakan tantangan signifikan dalam mewujudkan Jakarta yang lebih inklusif.
Karya:
1. Sukma Devi Widiastuti
2. Windy Fauziah
3. Syasa Aulia Rasyidin
4. Adinda Salsa Aryadi Putri
5. Salsabila Oktari